Memenangkan Persaingan Antar Kampus di Indonesia

Salam,

Saya saat ini bekerja di Institut Teknologi Bandung. Walaupun secara spesifik saya bekerja di bidang IT, namun tidak bisa dihindari bahwa saya sering mengikuti berbagai peristiwa yang terjadi di tempat saya bekerja. Terutama hal yang cukup menarik, yaitu mengenai persaingan antar kampus.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa persaingan antar kampus elit di Indonesia itu terjadi. Mulai dari persaingan kualitas calon mahasiswa yang masuk, persaingan kualitas mahasiswa yang diluluskan, sampai diciptakan berbagai ajang perlombaan yang dipakai untuk meneguhkan dominasi suatu kampus di bidang tertentu.

Sebagai kampus yang (katanya) menjadi tempat masuknya “putra-putri terbaik bangsa”, sudah umum bahwa kampus lain berusaha mengalahkan dominasi kampus ITB dalam berbagai hal. Mulai dari diciptakannya sistem “rangking” oleh berbagai pihak, mulai dari standar ranking dari luar negeri seperti Webometrics, THES, 4ICU, sampai berbagai perlombaan seperti lomba Robot KRCI, Telkom Smart Campus, dan sebagainya.

Saya tidak memiliki kapasitas menilai bahwa ITB itu baik dan kampus lainnya itu jelek, atau sebaliknya, bahwa ITB mutunya menurun dan dikalahkan oleh kampus lain. Saya tidak dalam kapasitas menilai bahwa (biasanya) ITB sangat baik dalam berteori namun rontok kalau diajak ikut perlombaan. Artikel ini tidak bermaksud seperti itu. Yang ingin saya katakan adalah bagaimana semua kampus mampu memenangkan persaingan dengan kampus lain.

Saya juga tidak memiliki kapasitas men-judge bahwa standar ranking dari luar (Webometrics, THES, 4ICU, dsb) itu akurat atau tidak akurat, namun penggunaan standar seperti ini membuat keunggulan sebuah universitas hanya dikecilkan dengan sebuah standar yang kurang tepat. Analoginya, apakah tepat membandingkan lebih lezat mana buah semangka dengan rambutan? buah jeruk atau anggur? buah duku ataukah durian?

Maka dari itu, saya mengusulkan sebuah mekanisme yang bisa dipakai untuk membuat persaingan antar universitas ini menjadi makin menarik, yaitu dengan mekanisme "Portofolio Keunggulan”.

Boleh dikatakan sistem ini dijalankan seperti ini: Ketika kita mendengar kata “perlombaan”, kita biasanya mengasosiasikan kata tersebut dengan kata “menang” dan “kalah”. Kalau satu pihak “menang”, maka pihak lainnya “kalah”. Bagaimana kalau saya katakan begini: ada sebuah perlombaan dimana semua pesertanya bisa “menang” tanpa ada yang “kalah”? 

Caranya cukup mudah:

  1. Tentukan kompetensi yang paling anda kuasai dari lembaga pendidikan anda
  2. Analisa kompetitor anda sesama lembaga pendidikan, dan temukan apa hal yang TIDAK mereka kuasai
  3. Temukan irisan dari poin 1 dan 2. Itulah kompetensi yang harus anda kuasai, yang harus anda gembar-gemborkan, yang menjadi value proposition dari lembaga pendidikan anda.

Kira-kira cara tersebut dapat saya gambarkan seperti gambar di bawah ini.

Irisan Kompetensi

Yang perlu dilakukan sebuah universitas adalah fokus di wilayah merah itu. Anda tidak perlu mengurusi wilayah kuning. Mengapa? karena konsentrasi di wilayah merah itu membuat kemungkinan keunggulan anda menjadi lebih tinggi.

Kalau seandainya anda masih berkonsentrasi di wilayah kuning, maka ada kemungkinan kompetitor anda akan berinovasi dan anda tertinggal di belakang. Itu bukan mustahil. Apalagi kalau anda memilih terjun di gelanggang yang sadar atau tidak sadar “dibuat” oleh kompetitor. Anda masuk ke wilayah merah kompetitor, dan anda sudah jelas akan kalah.

Saya coba ambil contoh kasus di ITB. ITB ingin mengikuti lomba robot. Saya tanyakan satu hal: apakah teknologi robot itu berada di wilayah merah ITB? Ataukah itu berada di wilayah merah universitas lain? Mohon pastikan hal itu, sebelum ITB dikatakan tidak unggul hanya gara-gara ITB bermain di zona merah milik kompetitor. Jangan merasa mentang-mentang menganggap diri kita paling pintar, lalu kita jatuh ke zona merah kompetitor, dan anda akan kalah.

Saya kembali ambil contoh kasus di ITB. Apa yang harusnya masuk zona merah di ITB? saya pikir poin di bawah ini memungkinkan:

  1. Astronomi. Departemen Astronomi hanya ada di ITB. Jelas-jelas sudah dari tahun 1920 (atau lebih muda?) Teleskop Carl Zeiss sudah ada di Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung. Observatorium Bosscha juga mampu melihat ke langit selatan, sebuah akses ke langit yang tidak mampu dilihat oleh ahli astronomi dari Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, karena merak hanya mampu melihat langit utara. Kompetitor kelas dunia pun tidak mampu melakukan apa yang dilakukan astronom ITB yang tinggal di Bosscha. Jelas-jelas ini adalah WIN.
  2. Teknik Penerbangan. Setahu saya Departemen Penerbangan hanya ada di ITB. Hanya ITB universitas yang punya pesawat tempur MIG-21 di laboratoriumnya. Pabrik pesawat PT-DI juga ada di Bandung. PT-DI bukan lembaga main-main, karena mampu meluncurkan N250 yang tidak mampu diluncurkan oleh negara Asean lainnya. Banyak lulusannya yang bekerja di industri penerbangan dunia seperti Airbus, Boeing, dan sebagainya. Universitas lain juga tidak memiliki kompetensi seperti ini. Jelas-jelas ini adalah WIN.
  3. Internet/Internetworking Research. ITB sudah berpartisipasi menjadi pionir perkembangan jaringan Internet di Indonesia di tahun 1995. Pengalaman network operation yang telah ITB miliki sejak tersambung dengan jaringan AI3/SOI-ASIA (Asian Internet Interconnection Initiatives/School of Internet-ASIA) dengan pengalamannya belasan tahun sampai saat ini membuat ITB memiliki kompetensi yang tidak dimiliki lembaga lain. WIN.
  4. Dan masih banyak lagi. Itulah tugas lembaga pendidikan untuk menemukan irisan merah mereka diatas.

Mestinya ITB sudah harus lebih berani untuk menonjolkan departemen/prodi unggulannya, dan memaksa prodi yang belum mampu menemukan wilayah merah nya untuk segera menemukan wilayah merah milik mereka, sehingga ITB memiliki portofolio keunggulan yang lengkap.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau saat ini bidang keunggulan kita berada di zona kuning, dan bagaimana caranya keunggulan ini digeser kedalam zona merah kita? Misalnya kita tetap mau bermain robot (yang banyak dikuasai orang lain), tapi masuk ke zona merah, bagaimana caranya?

Caranya adalah melengkapi bidang keunggulan yang ada saat ini dengan bidang keunggulan baru yang berada di zona merah. Sudah jamak saat ini pengembangan teknologi memerlukan kerjasama multidisiplin. Kerjasama multidisiplin akan membuat terobosan yang berguna dengan efek yang besar.

Contohnya adalah teknologi robot yang saat ini banyak dikuasai pihak lain ini bisa digeser ke zona merah dengan menambahkan penelitian yang orang lain belum kuasai, misalnya dengan menambahkan teknologi seperti dibawah ini:

  1. Membuat robot terbang berupa UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Robot yang berjalan sudah biasa, bagaimana dengan robot yang bisa terbang? Ini sudah dikembangkan oleh Centrums ITB (The Center for Unmanned System Studies).
  2. UAV yang mampu bergerak secara autonomous menggunakan artificial intelligence. Bagaimana dua atau tiga buah UAV dapat bergerak bersama-sama tanpa tabrakan?
  3. Teknologi komunikasi antar robot melalui jaringan Internet Protokol IPv6 melalui wifi wireless mesh. Ini membuat beberapa robot dapat berkomunikasi serta mengirimkan data seperti koordinat GPS dan stream audio/video melalui berbagai macam peralatan sensor melalui protokol 6LowPAN (1,2).

Hanya dengan menambahkan teknologi yang saya sebutkan diatas, anda sudah memasukkan robot yang anda kuasai dalam zona merah. Kompetitor harus berjungkirbalik kalau mau mengikuti apa yang anda lakukan. Inilah saran saya kepada kawan-kawan di ITB yang masih mau bermain robot.

Selain itu, bidang keunggulan yang kita miliki dapat dimasukkan ke zona merah dengan melakukan interaksi dengan bidang keilmuan lainnya, yang sekilas terlihat tidak berhubungan.

Contohnya adalah keunggulan teman-teman Astronomi ITB yang menguasai teknologi video streaming melalui IP network yang dipakai untuk melakukan pengamatan hilal untuk menentukan awal bulan suci Ramadhan dan 1 Syawal. Dengan berkoordinasi dengan Departemen Agama dan Kominfo, hasil pengamatan dari 7 lokasi titik pengamatan di Indonesia bisa ditayangkan bersama-sama dalam satu display di kantor Departemen Agama pusat, dan memudahkan para ulama untuk memutuskan awal bulan suci Ramadhan dan 1 Syawal.

Contoh lainnya adalah penggunaan teknologi jaringan yang dipakai oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk menerima gambar pengamatan ekspedisi pengamatan laut dalam Okeanos dari Amerika Serikat yang mengamati lantai laut bagian timur Indonesia. Dengan teknologi IP Multicast melalui jaringan TEIN3, para ahli spesies laut dari DKP dan ITB dapat melihat berbagai spesies di kedalaman 3000 meter yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Contoh diatas menunjukkan suatu bidang keunggulan yang dapat dipakai untuk membantu bidang keunggulan yang lain menyebabkan lembaga tadi memiliki keunggulan baru, bukan saja sekedar unggul, namun keunggulan yang memberikan manfaat.

Bagaimana dengan universitas lain? Mereka pun mampu melakukan hal yang sama. Saya ambil contoh seperti di bawah ini:

  1. Kedokteran. Di ITB tidak ada fakultas kedokteran. Keilmuan kedokteran tersebar di beberapa universitas terkemuka di Indonesia, yang memiliki kasus-kasus spesifik yang tidak dialami negara lain, mengingat negara Indonesia berada di daerah tropis, menyebabkan kondisi kesehatan orang Indonesia berbeda daripada negara maju di daerah subtropis. Ini saya alami ketika berinteraksi dengan teman-teman dari Universitas Indonesia yang berpartisipasi dalam Medical Working Group (WG) di APAN (Asia Pacific Advanced Network). Mereka akhirnya memiliki keunggulan yang tidak dimiliki ITB.
  2. Teknik Perkapalan. Departemen Teknik Perkapalan hanya ada di ITS. Pabrik galangan kapal PT PAL ada di Surabaya. Tentu saja tidak mungkin ITB mau bermain di bidang perkapalan, karena kota Bandung ada di ketinggian 700 meter diatas permukaan laut. Kecuali anda mau bikin kapal Nabi Nuh, atau anda mau bikin kapal TERBANG (itu masuknya ke Teknik Penerbangan ITB).

Inti dari tulisan ini adalah seandainya semua universitas mampu menemukan wilayah merah nya masing-masing, maka seluruh universitas mampu berjalan bersama-sama, menawarkan keunggulan nya masing-masing, berkontribusi memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara, bukannya hanya meributkan sebuah angka abstrak berupa rangking. Tentunya negara akan sangat berterimakasih kepada lembaga pendidikan tinggi yang mampu memunculkan berbagai keunggulan yang akan berguna bagi kemajuan bangsa.

Begitulah yang saya amati selama perjalanan saya berinteraksi dengan kolega dari perguruan tinggi nasional maupun luar negeri. Mungkin ada yang kurang tepat dalam pengamatan saya, maklum tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah, namun merupakan pengamatan empiris saya pribadi.

Mudah-mudahan berguna,

Wassalam,

19 pemikiran pada “Memenangkan Persaingan Antar Kampus di Indonesia

  1. Dedhi

    Jangan lupa di ITB ada FSRD. Itu wilayah potensial digali jadi RED area.
    Jangan cuman jadi komplementer atau step sister/brother dari para engineer

  2. Baskara

    Di beberapa bagian tulisan, saya sepakat dengan Affan, terutama dalam membangun keunggulan ITB yang berbeda dengan yang lain; untuk tidak sekedar ikut-ikutan yang lain.

    Akan tetapi, sekedar memiliki tools yang disebutkan di atas bukanlah sebuah WIN. Membanggakan teleskop boscha, misalnya, memang bagus untuk memotivasi diri ke dalam. Akan tetapi, kita harus tahu diri bahwa negara lain seperti Australia dan New Zealand juga punya teleskop (dan lebih banyak jumlahnya!). Jadi, kita janganlah membanggakan tools. We need publicly acknowledged results! Being pioneer also means nothing without sustainable outputs.

    Bidang-bidang lain semacam perkapalan juga bisa dikembangkan di ITB. Bidang perkapalan tidak hanya sekedar membuat kapal yang harus dihanyutkan di laut. Ingat, ada pangkalan AL di Bandung! Apakah itu berarti pangkalan kapal perang TNI AL? Bidang kedokteran juga demikian.

  3. Dhita

    Bagus Fan.

    Cuma ada beberapa masalah. Misalkan kita ambil lagi kasus robot. Masyarakat nggak peduli bahwa ITB pionir di robot terbang, robot selam, dan robot tanpa awak. Dan bahwa UAV, sebagai contoh, adalah salah satu robot dengan kompleksitas yang tinggi.

    Yang masyarakat tahu ITB kalah melulu di KRCI dan KRI (ini jg aneh karena 2 tahun terakhir ITB menang bahkan yang di tingkat nasionalnya tapi no one seems to notice, seperti juga orang tidak peduli bahwa yg sering menang adalah PENS ITS dan bukan ITS yang counterpartnya ITB). Padahal sebetulnya ide dasar lomba itu adalah mempopulerkan robotika dan bukan mencari cream of the cream teknologi robotik.

    Permasalahannya adalah sering kali teknologi yang dikejar tidak cukup familiar di masyarakat, dan kita melihat kegagalan humas ITB terus menerus terjadi dalam sosialisasi untuk berbagai kepentingan: implementasi di masyarakat, edukasi, atau pun sekedar penarik untuk mahasiswa baru.

    Masyarakat kita juga belum bisa menerima pemikiran bahwa tidak ada suatu sistem yg bisa unggul di segala hal.

    Namanya jagoan itu ya harus bisa semuanya.

    1. Iya Dhit, betul yg kamu bilang, bahwa saat ini masyarakat nggak peduli bahwa ITB begini begitu, itu karena kuranya sosialisasi teknologi dari ITB. Masyarakat kita juga seperti itu, sudah dididik oleh film superhero, jadinya seakan-akan satu orang unggul harus bisa semua. Makanya mereka minimal nontonlah itu The Dark Knight ama Kick Ass utk lihat jagoan yang bisa kalah 🙂 (j/k) Kalau masalah masyarakat nggak terdidik, ya itu diluar cakupan tulisan ini.

      Yang lupa aku masukkan di tulisan ini adalah strategi sosialisasi untuk bikin WIN ini diketahui masyarakat. Toh media saat ini permisif, nggak akan dia pilih-pilih siapa yang akan diberitakan, teknologi apa yang akan dibahas, dia makan aja semua apa yang ada, yang penting oplah naik, pengiklan bertambah.

      Buat guyonan, baca ini aja: http://www.phdcomics.com/comics/archive.php?comicid=1174 dan http://www.phdcomics.com/comics/archive.php?comicid=1175 🙂

  4. baskara

    Point menarik dari Dhita. Dalam berbagai literatur, ini disebut dengan “So what? question”. Anggap kita sudah bisa membuat ini itu, lalu so what? Selama pertanyaan ini belum bisa dijawab dengan memuaskan, semua yang kita capai itu hanya berguna untuk diri sendiri saja.

  5. dzulhid

    ITB memiliki banyak keunggulan di banyak hal,terutama SDM dan sgala bentuk penelitiannya, jadi seharusnya ITB bisa nunjukin gregetnya di kompetisi apapun,apalagi KRI ataupun KRCI.

  6. Halo,

    Salam kenal. Kami suka dengan tema tulisan kamu tentang pengalaman kamu di ITB.

    Begini, LPM ITB sedang membuat situs antarmuka untuk menjembatani mahasiswa- alumni ITB, dengan siswa SMU dari seluruh Indonesia, yang berminat ke ITB, untuk bisa bertukar informasi. Tujuannya, adalah untuk mengurangi kasus “salah pilih jurusan” sebelum memutuskan masuk ke ITB, juga membuat siswa SMU mengenal lebih dekat kehidupan mahasiswa ITB, dengan harapan, mereka bisa mengoptimalkan waktu belajarnya di kampus.

    Kami berusaha untuk mengurangi bias informasi seputar jurusan di ITB, bagi siswa SMU, sehingga mereka punya spektrum yang luas dan berimbang seputar disiplin jurusan, bahkan aktivitas mahasiswa ITB.

    Kalau Kamu bersedia, silakan berkunjung, berdiskusi, berbagi, dan jangan lupa untuk menjawab keingintahuan siswa- siswa SMU dari seluruh Indonesia, tentang ITB.

    Oh iya, tulisan ini juga bisa lho, kalau mau diposting .

    Regards,

    Layanan Produksi Multimedia ITB
    http://www.masukitb.com
    http://multimedia.itb.ac.id

  7. personally saya setuju dengan sebagian pemikiran mas tentang strategi untuk memenangkan persaingan antar kampus ini. di lain pihak saya berpikiran wilayah kuning spt diagram venn yang mas Affan buat sebaiknya juga di kembangkan.

    sebut saja suatu kampus swasta x di Jakarta. saat massa awal kampus itu didirikan, kampus tsb belum mempunyai suatu bidang studi yang diunggulkannya. pada keberjalannya, kampus tersebut terus mengembangkan salah satu bidang studi yang belum menjadi andalannya hingga kemudian ia berhasil menjadikan bidang studi tsb sebagai andalannya. padahal di lain pihak, beberapa kampus telah lebih awal lebih unggul dari kampus x tsb di bidang studi tersebut. kini, kampus x bahkan telah bisa mengungguli kampus lain yang telah lebih unggul (terlebih dahulu).

    tidak hanya kampus x tersebut. beberapa kampus lain juga dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana ia bisa mengembangkan keunggulannya, sementara (pada awalnya) kampus lain telah memiliki keunggulan tsb lebih dahulu. saya pikir untuk mencapai keunggulan itu membutuhkan sebuah proses. akan lebih baik jika daerah kuning juga dikembangkan, terlebih daerah merah seperti yang telah mas Affan kemukakan.

Tinggalkan Balasan ke adikcilak Batalkan balasan