ass.wr.wb.
Saya kemarin lagi mikir disela-sela lagi rame-ramenya Pilkada di mana-mana. Pada saat ini yang rame adalah Pilkada Gubernur Jawa Timur dan Pilkada Walikota Bandung.
Mikir apa ? Mikirnya begini, kenapa ya kok sistem Pilkada kita itu enak banget. Orang dengan berbagai macam track record (track record baik maupun buruk) bisa dengan mudahnya menjadi kandidat walikota ataupun gubernur hanya dengan mengumpulkan dua sumberdaya : Uang dan Orang (orang pun bisa dibeli dengan uang, jadi essentially, anda butuh uang. Large amount of it!). Lalu dengan tenangnya (karena sudah punya back-end thinktank pemikir di belakangnya) bikin janji-janji yang indah-indah. Ada yang mau bikin pendidikan gratis. Ada yang mau bikin rumah sakit bagi orang yang nggak mampu. Kayaknya semua janji dikeluarkan semua, kecuali janji menutup lumpur lapindo (karena memang nggak ada yang bisa :P)
Dengan sistem yang sakarepe dhewe ini, terus kita yang rakyat ini pasrah aja dipimpin oleh mereka ? Enak aja! Jelas saya nggak mau dong. Nggak usah diteliti jauh-jauh, pasti hasilnya nggak karu-karuan. Setelah lima tahun rusak-rusakan, lalu bikin Pilkada lagi. Lather, rinse, repeat! Kok jadinya kita ini lebih bodoh daripada keledai.
Maka dari itu, saya mengusulkan, bagaimana ya caranya agar seleksi kandidat Pilkada itu diperketat, menjadi sistem kompetensi berjenjang. Artinya kompetensi berjenjang itu adalah kandidat diharapkan memiliki bukti-bukti nyata, track record baik, curriculum vitae mampu menyelesaikan sebuah permasalahan di level dibawah seleksi kandidat yang ia ikuti.
Bagaimana prosesnya ? Kira2 seperti ini :
- Mulai di level keluarga terlebih dahulu. Kandidat harus mampu menyelesaikan masalah keluarganya terlebih dahulu. Masalah istri dan anaknya, lalu masalah orangtua dan cucunya. Misalnya anaknya yang terlibat pergaulan bebas, atau bahkan narkoba. Atau masalah dengan istrinya, sehingga ia memilki selingkuhan. Masalah-masalah ini harus dia selesaikan terlebih dahulu sebagai syarat baginya untuk mengikuti pemilihan ketua RT-RW.
- Setelah seorang kandidat terpilih menjadi ketua RT-RW, maka dia harus memiliki bukti nyata telah menyelesaikan seluruh masalah tetangganya di satu RT atau RW tadi. Misalnya ada tetangganya yang dikejar-kejar debt collector, atau ada satpam kompleks perumahan yang nggak bisa bayar uang sekolah anaknya. Masalah-masalah tetangganya tadi harus ia selesaikan terlebih dahulu, dia bayarkan hutang tetangganya, dia sumbangkan duitnya ke tetangganya yang kekurangan. Setelah selesai, barulah ia bisa mengikuti pemilihan Lurah.
- Kalau ia terpilih jadi Lurah, maka ia harus pernah menyelesaikan masalah di tingkat kelurahan. Misalnya di kelurahan tadi ada masalah sampah menumpuk, masalah gorong-gorong yang tersumbat, atau jalan aspal yang bolong-bolong, yang lucunya malah “ditambal” dengan polisi tidur. Dengan uangnya sendiri dia harus ngaspal jalan, membersihkan sampah dan gorong-gorong, dan lainnya. Ia harus terbukti menyelesaikan masalah-masalah di tingkat kelurahan ini, barulah ia bisa mengikuti pemilihan Camat.
- Setelah ia menjadi camat, ia harus mampu menanggulangi permasalahan di kecamatan yang ia pimpin dengan jitu. Misalnya masalah sosial masyarakat seperti anak muda yang mabuk-mabukan dan balap motor liar, masalah gelandangan, masalah kriminalitas, dan masalah-masalah lain di kecamatan tersebut. Kalau ia terbukti mampu menyelesaikan masalah tadi, barulah ia boleh ikut Pilkada Bupati atau Walikota.
- Ya kurang lebih sama seperti diatas, tapi skop nya adalah skop wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ia harus punya bukti bahwa ia pernah selesaikan masalah di satu Kabupaten/Kotamadya terlebih dahulu, baru ia bisa ikut Pilkada Gubernur.
- Gubernur-gubernur yang mampu selesaikan masalah di Propinsi nya saja yang boleh ikut Pemilu untuk memilih Presiden.
Enak kan kalau dibikin kayak begini ? Keuntungan ada ditangan rakyat dengan sistem seperti ini, karena :
- Orang hanya memilih kandidat yang betul-betul proven dan mampu selesaikan masalah di satu wilayah. Kandidat yang bisanya TJTJBMHM (tapi janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi) nggak akan bisa ikut Pilkada.
- Sementara orang ribut Pilkada, pembangunan akan tetap berjalan, karena kandidat berlomba-lomba memberikan kontribusi riil kepada rakyat, misalnya dengan mengaspal jalan yang rusak, mengganti lampu jalan dan lampu lalulintas yang mati (karena kabel ATCS nya dicuri maling), membereskan saluran dan gorong-gorong yang menyebabkan penyakit, dan sebagainya.
- Nggak akan ada Golput, karena semua orang merasakan kontribusi para kandidat Pilkada ini, dan merasa terhutang budi akan kebaikan para kandidat ini. Pemilihan pun akan berlangsung ramai.
- Cuma kandidat yang kaya raya namun baik hati, dermawan, sabar, dan bijaksana saja yang akan ikut Pilkada ini, karena ia terpaksa keluar uang sangat banyak dan bekerja sangat keras untuk membuat dirinya layak ikut Pilkada. Maka dari itu, pemenangnya pastilah orang-orang yang betul-betul oke, bukan orang ngawur-ngawur.
Kapan ya sistem Pilkada di Indonesia bisa diubah seperti ini ? Mudah2an tidak lama lagi, amin.
wass.wr.wb.